JAKARTA - Bagaimana sebaiknya peran pers di tengah kegaduhan politik dewasa ini?
Berbicara peran pers Indonesia kita tidak bisa lepaskan dari sejarah pers itu sendiri : pers Indonesia bagian integral pembangunan bangsa. Fourth Pillar of Democracy. Atau pilar keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif sebuah negara demokrasi.
Dimulai saat pembentukan Kantor berita ANTARA 13 Desember 1937. Masa itu Antara berperan dalam rangka perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, yang mencapai puncaknya dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Disusul dengan pembentukan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) wadah profesi jurnalis yang pertama berdiri di Indonesia. PWI dibentuk di Surakarta, pada 9 Februari 1946.
Jangan lupa di masa itu meskipun kemerdekaan telah diproklamirkan, namun Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia lebih empat tahun kemudian, September 1949. Pembentukan PWI jelas sebuah keberanian para wartawan Indonesia untuk melindung mi kemerdekaan RI seiring dengan perlawanan rakyat Indonesia terhadap kolonialisme Belanda.
Peran pers kemudian terkooptasi di masa Orde Lama dan Orde Baru. Saat PWI terkooptasi, terbentuk sebagian wartawan melakukan perlawanan. Asosiasi Jurnalis Indonesia ( AJI) terbentuk menjelang runtuhnya rezim Orde Baru.
Baca juga:
Tony Rosyid: Pemilu Ditunda? No Way!
|
Setelah Reformasi Mei 1998 Pers menemukan kembali jati dirinya. Yang sesuai amanah konstitusi pasal 28 UUD 1945. Sebagai payung pelaksanaan operasionalnya adakah UU Pers No 40/1999, salah satu produk reformasi bangsa di tahun itu. Pasal 6 UU no 40/99 menegaskan peran pers antara lain menegakkan nilai-nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, HAM serta menghormati kebhihekaan (ayat b).
Peran lainnya, melakukan pengawasan , kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum (d) dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran (e)
Redup
Tidak kita pungkiri satu dasawarsa terakhir pers Nasional kembali mengalami situasi redup justru ketika telah bertumbuh menjadi pers industri. Penyebabnya, kita semua tahu. Masalah besarnya tak lain karena rakyat terbelah. Berbarengan disrupsi tehnologi informasi mereduksi peran itu. Mengkritisi pemerintah akan dibully sebagian masyarakat dan dijuluki "Kampret" di media sosial. Dianggap otaknya terbalik mengikuti cara tidur kalong di dahan pohon.
Sebaliknya, jika terkesan berlebihan mengapresiasi kerja pemerintah, akan mendapat julukan "Cebong". Atau anak katak yang dunianya cuma sekolam, sesuai habitat spesies hewan air itu. Kita akhirnya mengenal istilah "tv merah" dan "tv biru". Untuk mengetahui duduk suatu perkara rakyat harus menonton dua-duanya.
Tiga tahun lalu saya pernah menulis kisah seorang wartawan senior. Dia pensiunan dari media ternama di Indonesia. Karena punya reputasi baik, masih ditawari kontrak di grup media bekas tempatnya bekerja, menjadi wartawan di media digital. Tetapi kawan itu menolak.
"Sekarang sulit menemukan dan mengutarakan kebenaran di media pers, " katanya lirih. Kebenaran yang menggunakan parameter sehebat apapun, dan telah menempuh prosedur pengujian yang sahih dan rigit sekalipun, tetap akan menimbulkan kotroversi.
Jika merugikan relawan “Cebong”, sudah pasti ditolak. Begitu juga jika sebaliknya. Kalau fakta itu tidak mengungtungkan relawan “Kampret” juga menghadapi resistensi sebagian publik.
"Kita harus melanjutkan tradisi pers yang taat konstitusi dan kode etik meski tantangan amat besar, " kata Ketua Umum PWI Margiono suatu hari dalam sebuah diskusi tidak lama setelah terpilih menjadi Ketua Umum PWI Pusat priode pertama (2008-2013). Dalam diskusi itu saya memaparkan data jumlah masyarakat yang terhubung internet. Waktu itu sekitar 100 juta. Data terbaru 200 juta.
Masyarakat selektif membaca berita yang disukai atau dibutuhkan. Sayangnya mereka menyukai berita sensasional, yang lebih banyak tidak mematuhi kode etik jurnalistik. Sebagian dari mereka mengambil alih pekerjaan wartawan dengan turut membuat sendiri berita dan menyebarkannyadi media sosial. Jelas, banyak yang tidak memenuhi standar berita sesuai kaidah jurnalisme.
Almarhum Margiono, yang juga anggota Dewan Pers memandang fenomena itu sebagai momen bagi wartawan mengembalikan marwah pers.
"Kita harus meningkatkan fungsi kontrol termasuk melindungi publik dari pengaruh buruk media sosial. Tidak ada cara lain bagi pers Indonesia kecuali menaati aturan dan kode etik." Itu faktor pembeda yang menjadi selling pointnya, kata pemilik grup media Rakyat Merdeka itu. Margiono wafat 1 Februari. Niscaya almarhum akan tersenyum di alam sana menyaksikan kekompakan pers menghadapi ulah sebagian elit politik yang merongrong konstitusi negara demi keralusan memegang kekuasaan.
Baca juga:
Tony Rosyid: Siapa Pasangan Ideal Anies?
|
Seminggu ini saya hampir mengikuti isi pemberitaan media menyoal itu. Clarity moral, kejernihan moral para jurnalis sebagai unsur kuat sebagai pilar keempat demokrasi mendominasi pemberitaan media hari-hari ini. Sampai kemarin, sebagian media berhasil mengidentifikasi sumber kegaduhan politik yang ternyata tokoh tokoh elit politik yang selama ini kita beri kepercayaan.
Saya sependapat, untuk segera mengucilkan mereka dari ruang demokrasi. Persis seperti ikan yang busuknya bersumber dari kepalanya sendiri.
Jakarta, 4 Maret 2022
Ilham Bintang
Jurnalis Senior Indonesia